Atas dasar itu, ia menolak penerapan program KB dua anak di Bali. Menurutnya, kebijakan tersebut justru menyebabkan pertumbuhan penduduk lokal menurun dan mempercepat hilangnya budaya.
"Saya sedang bekerja keras untuk memproteksi budaya Bali ini. Kalau tidak, bahaya. Bali ini keunggulannya cuma satu, cuma budaya. Di luar itu tidak ada. Kalau kebudayaan Bali ini tidak dijaga dengan baik, wilayahnya kecil, penduduknya sedikit, siapa yang akan mengurusnya ke depan?" ujar Koster yang juga lulusan ITB itu.
Baca Juga:
Tidak Ada Siswa ‘Titipan’ Dalam PPDB 2023 di Bali
Koster juga menyinggung kekhawatiran akan punahnya nama-nama khas Bali seperti Nyoman atau Komang dan Ketut yang umumnya digunakan untuk anak ketiga dan keempat.
Ia menyatakan siap memberikan insentif kepada keluarga yang memberi nama depan Komang atau Nyoman untuk anak ketiga, dan Ketut untuk anak keempat.
Seperti diketahui, dalam tradisi Bali, anak pertama biasanya diberi nama Wayan atau Putu, anak kedua Made atau Kadek, anak ketiga Nyoman atau Komang, dan anak keempat Ketut.
Baca Juga:
Mengenal Masjid di Atas Awan yang Berada di Bali
Usulan program KB empat anak ini mendapat respons positif dari para alumni ITB yang hadir dalam kongres. Mereka menunjukkan dukungan dengan berpose empat jari sebagai simbol persetujuan terhadap gagasan tersebut.
Sementara itu, Ketua Umum IA ITB Pengda Bali, Cokorda Alit Indra Wardhana, menyampaikan bahwa Kongres Daerah XI ini merupakan wadah konsolidasi alumni untuk berkontribusi dalam pembangunan Bali.
"IA ITB Bali siap mendukung program strategis Pemerintah Provinsi Bali, mulai dari penguatan SDM, teknologi terapan, transisi energi, hingga digitalisasi berbasis kearifan lokal," ujar Cokorda Alit.