Hal ini mencakup dorongan bagi produsen untuk mengurangi penggunaan kemasan plastik. Sementara konsumen didorong untuk mengadopsi gaya hidup yang tidak bergantung pada plastik dan produk plastik sekali pakai lainnya dan melakukan pengurangan serta pemilahan sampah.
Dia juga menjelaskan bahwa meskipun opsi pengolahan sampah menjadi energi tersedia, investasi waste to energy (WtE) sangat mahal dan dapat membebani keuangan pemerintah daerah. Oleh karena itu, mengurangi sampah dari sumbernya dan mengolahnya menjadi solusi yang paling ekonomis.
Baca Juga:
Sampah di Gerbong Kereta, Cermin Buram Pengelolaan Limbah di Indonesia
“Tidak ada satu solusi tunggal yang bisa menyelesaikan masalah sampah di Bali. Dibutuhkan pendekatan yang terpadu dan menyeluruh, melibatkan semua pihak dari masyarakat, pemerintah, hingga industri. Selain itu, perlu pula menanamkan pola pikir circular economy dan tanggung jawab pengelolaan sampah di masyarakat yang memahami bahwa pengolahan sampah di Indonesia berbiaya sangat mahal, mencapai 100 dolar AS per ton. Oleh karenanya pengurangan sampah di sumber adalah pilihan yang paling murah,” ucap Fabby.
Kepala Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah B3, Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Dinas KLH Provinsi Bali I Made Dwi Arbani, menuturkan Bali menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan sampah, termasuk over kapasitas TPA, keterbatasan lahan, serta peningkatan volume sampah setiap tahunnya.
Untuk mengatasinya, paradigma pengelolaan sampah di Bali mulai bergeser dari sistem linear berbasis TPA, menuju ekonomi sirkular yang berkelanjutan.
Baca Juga:
Hari Peduli Sampah Nasional 2025: Kolaborasi Menuju Indonesia Bebas Sampah
Dalam Peta Jalan Kerthi Ekonomi Bali 2045, salah satu indikator pengelolaan sampah adalah 100 persen sampah terkelola.
“Hal ini mencakup pengurangan sampah melalui gaya hidup berkelanjutan, seperti belanja dengan membawa wadah sendiri dari rumah, penggunaan kembali produk daur ulang, dan mengusahakan pengolahan sampah menjadi kompos, termasuk pemanfaatan teknologi larva BSF (black soldier fly) untuk mengolah sampah organik, waste to energy melalui pemanfaatan sampah menjadi biogas, serta peningkatan kapasitas fasilitas pengolahan sampah yang lebih dekat dengan masyarakat, termasuk pembangunan tempat pengolahan sampah reduce reuse recycle (TPS3R) dan tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) di berbagai daerah,” ujar Dwi Arbani.
Direktur Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali Catur Yudha Hariani menjelaskan berbagai solusi penanganan sampah. Secara jangka pendek, perlu peraturan yang memperjelas peran pemerintah, desa adat, masyarakat, dan swasta dengan serta penegakan hukum terkait pengelolaan sampah. Selain itu, secara kolaboratif melakukan edukasi kepada masyarakat dengan melibatkan pemerintah, komunitas, LSM, akademisi, dan sektor swasta. [frs]