Bali.WAHANANEWS.CO, Denpasar - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali resmi meluncurkan Bale Sabha Adhyaksa, sebuah lembaga penyelesaian masalah berbasis keadilan restoratif di tingkat desa.
Kepala Kejati Bali, Ketut Sumedana, merupakan sosok yang memperjuangkan berdirinya lembaga ini. Ia menyebutkan, gagasan tersebut telah ia tuangkan dalam buku yang ditulisnya pada 2018 berjudul Bale Mediasi dalam Perkembangan Hukum Nasional, serta diperkuat dengan hasil riset ke sejumlah negara Eropa untuk mendalami konsep keadilan restoratif.
Baca Juga:
Menantu Aniaya Mertua di Asahan: Motif Hubungan Intim Ditolak
Dalam peresmian yang berlangsung pada Kamis (3/4/2025), Ketut Sumedana kepada awak media menyampaikan bahwa perjuangannya mendapat respons dari pimpinan Kejaksaan melalui instruksi Jaksa Agung dan penerbitan peraturan mengenai Bale Restorative Justice.
“Ternyata di sejumlah negara maju, yang paling utama dalam penegakan hukum adalah konsep perdamaian dan win-win solution (restorative justice),” ujar Ketut Sumedana, yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI.
Menurutnya, Bale Sabha Adhyaksa akan didirikan di desa adat dan desa dinas di seluruh Bali. Kabupaten Bangli dan Tabanan menjadi dua wilayah pertama yang menjadi lokasi percontohan.
Baca Juga:
Tragis! Roy Erwin Sagala Dikeroyok, Kedai Dihancurkan dan Rumah Diancam Bakar
Sumedana menegaskan bahwa kehadiran jaksa di tingkat desa bertujuan untuk membantu masyarakat Bali (krama) menyelesaikan konflik tanpa harus melalui proses peradilan.
“Di desa mana pun di belahan dunia ini pasti ada konflik, pertentangan, dan permasalahan. Konflik ini tidak semua harus berujung ke pengadilan, maka di Bale Sabha Adhyaksa diselesaikan. Ini fungsinya bendesa, tokoh masyarakat, tokoh agama diberdayakan untuk menyelesaikan masalah di tingkat desa,” jelasnya.
Lebih lanjut, Ketut Sumedana menjelaskan bahwa konsep ini juga dapat menghemat anggaran negara, karena penanganan perkara bisa dikurangi secara signifikan.
Ia menegaskan bahwa pembangunan daerah, termasuk pengawasan terhadap penggunaan dana APBD dan APBN, seharusnya dimulai dari tingkat desa.
“Semua yang berkaitan dengan hak masyarakat, kami berantas. Kami turun, kalau ada laporan silakan laporkan ke saya, pasti kami tindak. Jaksa harus bisa mengayomi, melindungi, dan menjaga desa. Konsepnya, pelayanan terdepan sebuah negara ada di tataran desa,” tegasnya.
Ia menyampaikan, komitmen tersebut juga sejalan dengan upaya Pemerintah Provinsi Bali dalam mencegah kebocoran anggaran di tingkat desa.
Oleh karena itu, kejaksaan menempatkan jaksa di desa untuk mendampingi bendesa dan aparat desa dinas.
“Kepala desa ketakutan eksekusi program di desa, kemungkinan ada kebocoran-kebocoran dan penyalahgunaan kewenangan. Untuk itu jaksa harus hadir di tengah-tengah dalam rangka mengamankan pembangunan desa yang berkelanjutan,” ucapnya.
Sumedana juga berharap kehadiran Bale Sabha Adhyaksa bisa memberikan pencerahan kepada krama Bali agar tidak miskin literasi hukum, terutama mengenai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Ia menekankan pentingnya melek hukum dari tingkat desa agar tercipta keteraturan, keharmonisan, dan kedamaian.
“Kalau masyarakatnya sudah melek hukum berarti keteraturan, keharmonisan, kedamaian akan terbangun di desa tersebut. Artinya penegak hukum hanya jadi bagian evaluator, pembinaan hukum, dan pemberdayaan. Tidak perlu dilakukan penindakan lagi,” ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa fungsi Bale Sabha Adhyaksa adalah sebagai tempat penyelesaian konflik di desa agar tidak sampai masuk ke pengadilan, yang kerap memperpanjang masalah hingga lintas generasi.
“Karena kalau sudah masuk ke pengadilan, bukan hanya bapak yang akan berkelahi di pengadilan, tapi anak-cucu juga akan ikut berkelahi. Ini yang akan kita cegah dengan bale restorative justice,” pungkas Ketut Sumedana.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]