Bali.WahanaNews.co, Jakarta - Warga Australia mengeluhkan mahalnya harga tiket pesawat.
Biaya penerbangan di negeri Kangguru telah melonjak berkali-kali lipat dibandingkan harga pada saat sebelum pandemi COVID-19.
Baca Juga:
Catat Surplus, Kinerja Ekspor Nasional Masih Ditopang Sektor Manufaktur
Bahkan, dilansir dari Al-Jazeera, Kamis (31/8/2023), Amber Daines Ungar salah satu warga Sydney sampai harus membatalkan rencana liburan keluarganya ke Bali bulan September ini.
"Sepertinya saya harus menjual ginjal (bila mau liburan). Kami memang mengalami inflasi yang tinggi, jadi saya tahu biayanya akan lebih mahal. Sangat sulit untuk menerima kenyataan biaya tinggi untuk penerbangan," kata Ungar.
Sebelum pandemi COVID-19, harga tiket pesawat ke pulau di Indonesia itu hanya seharga US$ 260 atau sekitar Rp 3,9 juta per orang (kurs Rp 15.200).
Baca Juga:
Jamin Demand Belanja Dalam Negeri, TKDN Terbukti Tingkatkan Investasi dan Produktivitas Industri
Per satu keluarga beranggotakan empat orang seharusnya biayanya cuma US$ 1.040 atau sekitar Rp 15,8 juta saja.
Namun, Unlgar justru harus membayar hingga US$ 3.900 atau sekitar Rp 59,2 juta untuk liburan ke Bali bersama keluarganya.
Hal ini dirasa memberatkan, maka dia membatalkan rencana liburannya.
Biang Kerok Tiket Mahal
Setelah krisis COVID-19, biaya perjalanan udara di Australia naik berkali-kali lipat dibandingkan biaya sebelum pandemi. Para kritikus banyak menyalahkan proteksionisme pasar yang dilakukan pemerintah Australia sebagai biang keroknya.
Kabarnya bulan lalu, Australia menolak tawaran Qatar Airways untuk menambah 21 penerbangan mingguan dari Eropa ke beberapa kota besar di Australia seperti Sydney, Brisbane, hingga Melbourne. Saat ini Qatar Airways memiliki jadwal 28 penerbangan mingguan internasional dari dan ke Australia.
Permintaan Qatar Airways itu diperkirakan akan menambah sekitar satu juta kursi pesawat tambahan setiap tahunnya, sehingga memberikan tekanan pada kenaikan harga tiket pesawat.
Namun, Menteri Transportasi Catherine King berpendapat bahwa usulan tersebut tidak sesuai dengan kepentingan nasional negara tersebut. Dia menggaris bawahi soal kepastian adanya pekerjaan jangka panjang, bergaji tinggi, dan aman bagi warga Australia negerinya sendiri.
"Tidak sesuai dengan kepentingan nasional, termasuk kebutuhan untuk memastikan adanya pekerjaan jangka panjang, bergaji tinggi, dan aman bagi warga Australia di Australia pada sektor penerbangan," ungkap King.
Keputusan King juga diketahui diambil setelah maskapai penerbangan nasional Australia, Qantas melobi untuk menentang tawaran Qatar Airways.
Qantas mengklaim penerbangan tambahan ini akan mendistorsi pasar penerbangan. Padahal, sebagai maskapai pelat merah pihaknya pernah mengaku tidak akan mampu mengejar peningkatan permintaan penerbangan selama setidaknya dalam lima tahun.
Tindakan pemerintah Australia ini telah memicu reaksi balik dari industri perjalanan dan kelompok hak konsumen. Mereka menuduh pemerintah melindungi keuntungan Qantas dengan mengorbankan warga Australia.
Situasi ini sangat meresahkan bagi banyak warga Australia, apalagi Qantas, sempat menerima sekitar US$ 1,75 miliar suntikan dana pemerintah dari pungutan pajak untuk membantunya tetap bertahan selama pandemi.
Kamar Dagang dan Industri Australia, salah satu dari banyak kelompok industri yang mengecam langkah tersebut memperkirakan keputusan tersebut akan merugikan perekonomian Australia sebesar US$ 511 juta atau sekitar Rp 7,7 triliun per tahun karena hilangnya pariwisata.
"Keputusan ini akan menunda pemulihan, menjaga harga tiket pesawat tetap tinggi, berkontribusi terhadap inflasi, merusak industri pariwisata dan perekonomian Australia," kata kepala eksekutif Kamar Dagang Industri Australia John Hart.
[Redaktur: Amanda Zubehor]