“Kita masih di tengah pandemi. Peperangan ini belum usai. Yes we won the last battle, but we still in the war. Kita harus terus waspada,” tegas dia.
Menurut Carmelita, saat ini pengusaha sangat serius berusaha memulihkan sektor kesehatan agar dapat membangkitkan kembali ekonomi nasional, yang terpuruk akibat terjangan gelombang pandemi Covid-19.
Baca Juga:
Perseteruan Kadin Memanas Lagi, Pengurus Munaslub Disebut Langgar Aturan
“Selama kesehatannya tidak berkembang, maka ekonominya juga melempem. Nah, dalam lintasan waktu inilah, kita sampai dalam momen polemik bisnis PCR, setelah gelombang Covid-19 beberapa bulan lalu yang sangat mengerikan itu mereda. Publik sekarang juga dibawa masuk ke polemik ini,” jelas dia.
Diakui Carmelita, pemeriksaan PCR adalah salah satu instrumen dalam penanganan pandemi Covid-19, meskipun harganya mahal dan sebagian besar peralatan yang digunakan diimpor.
Pada sekitar April 2020, lanjutnya, uji specimen di Indonesia hanya sekitar 7.000-an per hari, dibandingkan Malaysia yang mencapai puluhan ribu per hari dan Korea Selatan berkisar ratusan ribu specimen per hari.
Baca Juga:
Kadin: Pemimpin Solo Masa Depan Harus Pahami Masalah untuk Kesejahteraan Masyarakat
“Kita kedodoran waktu itu. Tentu, kondisi ini membutuhkan kerja bersama, dan pemerintah mulai mendorong tes di laboratorium swasta. Pada bulan Juni 2020, akhirnya 147 rujukan seluruh Indonesia sudah bisa melakukan uji specimen dan kita bisa melakukan hingga 15.000 test per hari,” jelas Carmelita.
Carmelita mengatakan, kerja sama pemerintah dan industri kesehatan akhirnya membuahkan hasil, dimana pada pertengahan tahun 2020, PT Bio Farma (Persero) berhasil memproduksi alat tes PCR. Bahkan, secara bersamaan banyak lokasi tes PCR dan antigen juga dibuka di berbagai daerah.
“Terus terang, tak semua laboratorium bisa melakukan pengujian. Tes harus dilakukan di laboratorium dengan standar Biosafety Level 2. Ini saya lho, yang bukan pengusaha di sektor kesehatan, jadi cukup objektiflah melihat,” ujarnya.