Bali.WAHANANEWS.CO, Badung - Bali kini menghadapi berbagai tantangan serius dalam sektor pariwisata, terutama terkait menjamurnya villa ilegal dan alih fungsi lahan hijau yang marak terjadi di wilayah Badung.
Wakil Sekretaris Umum Bidang 8 Pariwisata, Ekonomi Kreatif, dan Infokom BPD HIPMI Bali, Dwi Novita Cahyaningtyas Permatasari, S.I.P., M.B.A., M.A., mengungkapkan bahwa ledakan kunjungan wisatawan ke Bali turut mendorong pembangunan villa-villa tanpa izin resmi.
Baca Juga:
Pemkab Bulungan Fokus Tingkatkan Produksi dan Pertanian Berkelanjutan Demi Kedaulatan Pangan
Bahkan, sejumlah properti tersebut berdiri di atas lahan yang masuk kategori sawah dilindungi (LSD) dan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B).
“Mirisnya banyak konversi lahan hijau akibat pembangunan pariwisata,” katanya dalam Rapat Koordinasi di DPRD Bali pada Rabu (21/5/2025), yang membahas pertumbuhan wisatawan di tengah lesunya tingkat hunian dan menjamurnya akomodasi tanpa izin.
Dwi Novita menyebutkan bahwa antara tahun 2023 hingga 2024, Kabupaten Badung mengalami lonjakan drastis dalam jumlah akomodasi wisata.
Baca Juga:
Step Up Hotel Langgar Aturan, Tapi Tak Ditindak: Siapa yang Melindungi?
Jumlah hotel bintang bertambah menjadi 629 dari 329, hotel budget meningkat dari 56 menjadi 174 unit, apartemen naik dari 92 menjadi 191 unit, dan jenis akomodasi jangka pendek lainnya melonjak dari 280 menjadi 515 unit.
“Yang paling membahayakan Jenis akomodasi lainnya (paling signifikan) bertambah 1.975 unit menjadi 2.223, yaitu bisa berupa rumah kost atau kontrakan, disusul Villa bertambah 1.395 unit dari sebelumnya 1.664,” ungkapnya dalam rapat yang dipimpin oleh Ketua Komisi II DPRD Bali, Agung Bagus Pratiksa Linggih.
Ia menekankan urgensi pembentukan peraturan daerah khusus terkait praktik nominee dan pengalihfungsian lahan.
Selain itu, integrasi sistem antarlembaga dan kerja sama dengan platform penyewaan daring dinilai penting untuk mengakses dan memverifikasi data transaksi properti.
“Kita perlu Perda Nominee dan alih fungsi lahan. Selain itu diperlukan adanya integrasi sistem antar lembaga dan kolaborasi dengan platform penyewaan online untuk mengakses dan memverifikasi data transaksi penjualan, seperti yg telah dilakukan negara tetangga Thailand, Singapura, Selandia Baru, Dubai dsb,” lanjutnya.
Ia memperingatkan bahwa bila villa ilegal terus dibiarkan, dampaknya bisa sangat luas, mulai dari risiko terhadap keselamatan dan keamanan, hingga degradasi lingkungan serta ketimpangan pendapatan daerah.
“Oleh karenanya kami menawarkan solusi dan rekomendasi langkah yang harus ditempuh, yaitu pembaruan regulasi, pengawasan, penegakan regulasi serta digitalisasi perizinan dan pelaporan, implementasi sistem pembayaran pajak online, sistem terintegrasi dan kolaborasi dengan platform penyewaan online,” sebut Dwi.
“Perlu adanya komitmen kuat dari pemerintah daerah dan pusat untuk menindak tegas pelanggaran, menyelaraskan regulasi, dan memastikan pendapatan daerah tidak bocor karena villa ilegal. Jika dibiarkan, bukan hanya pasar yang rusak, tapi juga keberlanjutan lingkungan dan identitas agraris Bali akan ikut tergerus,” pungkasnya.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]