Bali.WahanaNews.co, Badung - Para pelaku usaha spa di Bali bereaksi terhadap kenaikan pajak barang dan jasa tertentu (PJBT) yang sebelumnya 15 persen menjadi 40 persen dan maksimal 75 persen. Mereka keberatan dan belum menaikkan harga atau tarif layanan spa.
Hal itu diungkapkan oleh Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya. Menurutnya, para pelaku usaha spa tidak mau terburu-buru menaikkan harga karena kondisi usaha yang belum stabil.
Baca Juga:
Kredit UMKM Tanpa Jaminan dan Bunga di Kukar Jadi Rujukan Daerah
"Kasih kami bernapas dahulu. Kami lihat ekonomi global belum baik-baik saja. Masih disebut unpredictable situation (situasi tak menentu)," kata Rai dilansir detikBali, Minggu (7/1/24).
Rai menuturkan para pelaku usaha spa kaget dengan kenaikan pajak yang disebut tiba-tiba itu. Beberapa pelaku usaha dari Bali Spa And Wellness Asociation, kata dia, berharap kenaikan PJBT itu diimplememtasikan secara bertahap.
"Bali Spa And Wellness Asociation sudah mengadu ke kami di PHRI. Kami kaget. Kalaupun ada kenaikan, (seharusnya) bertahap. Misalnya, naik 20 persen. Nah, ini langsung 40 persen," kata Rai.
Baca Juga:
Gawat! Korban PHK di Indonesia Tembus 64 Ribu, 3 Sektor Utama Paling Terdampak
Aturan ini salah satunya diterapkan di Kabupaten Badung. Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Badung Nomor 7 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, spa dikategorikan sebagai jenis pajak kesenian dan hiburan. Dalam aturan tersebut, pajak hiburan masuk dalam klasifikasi objek pajak jasa dan barang tertentu (PBJT) bersama pajak jasa perhotelan, makanan-minuman, listrik, dan parkir.
Pemerintah, kata Rai, seharusnya tidak begitu saja mengkategorikan semua tempat spa sebagai hiburan. Menurutnya, ada tempat spa di Bali yang seharusnya dianggap sebagai tempat kebugaran.
Alasan lain, Rai menilai kenaikan pajak tersebut tentu akan berdampak pada keuntungan yang didapat para pelaku usahanya. Ia melihat banyak orang Bali menggelontorkan modal yang tidak sedikit saat memulai usaha spa. Ia khawatir kenaikan tarif layanan spa akan menurunkan minat para pelanggan untuk datang ke tempat spa.
"Spa di luar dengan di Bali itu beda. Kalau spa di sini itu kebugaran. Karaoke dan diskotek itu hiburan. Karena, kalau spa itu tenaga profesional. Dengan kenaikan 40 persen itu, membunuh UMKM (spa) yang notabene dijalankan orang lokal," beber Rai.
"Apalagi, pajak dan tarif layanan spa sudah ada perhitungannya. Nah, kalau naik (pajaknya) takutnya minat customer akan berkurang. Kalau (tarif layanan spa) terlalu mahal, nggak bagus juga," imbuhnya.
Sebelumnya, sejumlah elemen pariwisata kabarnya memersalahkan pungutan pajak hiburan dan kesenian sebesar 40 persen pada 2024. Salah satunya jasa spa. Kenaikan pajak itu dinilai cukup memberatkan pelaku usaha spa, terutama yang bergerak mandiri di luar jasa perhotelan.
Anggota Komisi III DPRD Badung I Nyoman Graha Wicaksana mengatakan poin-poin dalam Perda yang disahkan akhir 2023 itu merujuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD). Dalam aturan pusat itu juga secara rinci mengatur ketentuan nilai pajak.
[Redaktur: Amanda Zubehor]