WahanaNews-Bali | Pada 1934 sampai 1938, Presiden pertama Indonesia Soekarno atau biasa disapa Bung Karno pernah diasingkan ke Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur.
Merangkum dari tapak tilas perjalanan Bung Karno, Delapan puluh lima tahun lalu, Ende hanyalah sebuah kota kecil yang terletak di pesisir selatan pulau Flores bagian tengah.
Baca Juga:
Cepat!! Tanggap Keluhan Aparat Desa, Kades Kerirea : Terimakasih Pimpinan Bank NTT Cabang Ende
Kota ini hanya berpenduduk tidak lebih dari 5000 jiwa yang berasal dari berbagai suku di Nusantara.
Bahkan, sebagian besar penduduknya masih buta huruf serta berprofesi sebagai petani dan nelayan.
Sementara Flores sendiri merupakan pulau di Periferi Soenda kecil dan Ende merupakan ibukota Afdeling Flores pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Baca Juga:
Jalan Nangamboa - Romarea Nyaris Putus Akibat Longsor, Akses Transportasi Terancam Lumpuh.
Kala itu Ende penuh damai walaupun penduduknya terdiri dari banyak suku, bangsa dan beda agama.
Pada Selasa 14 Januari 1934, tepatnya pukul 08.00 pagi sebuah kapal motor Jan Van Riebeeck tiba di pelabuhan Ende. Kapal ini ternyata membawa seorang Putra Sang Fajar sebagai interniran atau tahanan politik.
Ia diasingkan lantaran aktivitasnya di Partai Nasional Indonesia (PNI) dianggap membahayakan eksistensi pemerintahan Hindia Belanda.
Flores menurut Gubernur Jenderal Belanda di Batavia adalah tempat yang tepat untuk mengisolasi serta mematikan pergerakan revolusionernya.
"Perjuanganku akan berakhir disini karena aku telah dijauhkan dari tokoh-tokoh revolusi yang lain. Mereka akan berjuang tanpa aku," demikian Bung Karno mengungkapkan kegundahannya kepada Syaid Lanjar salah seorang sahabat asal Ende yang dia kenal di atas kapal.
Setelah menjejakkan kakinya di daratan Pelabuhan ini tentara pengawal dari Surabaya kemudian menyerahkan Soekarno pada tentara Hindia Belanda Ende.
Dalam pengawalan ketat Soekarno digiring menuju Pesanggrahan markas militer Belanda (sekarang kantor Detasemen Polisi Militer 16 Ende) yang berjarak kurang lebih 500 meter dari pelabuhan Ende untuk melapor diri.
Setibanya di pos militer ini Soekarno menemui pimpinan tentara Belanda yang telah menunggu kedatangannya dalam pertemuan itu terjadi perdebatan sengit antara Soekarno dengan pimpinan militer Belanda.
Soekarno menolak diasingkan ke Bajawa karena menurutnya ia bukanlah seorang penjahat melainkan tahanan politik yang mestinya mendapatkan tempat tinggal layak.
Apalagi Soekarno tidak sendirian ketika itu, ada Inggit Ganarsih sang istri, ibu Amsy mertuanya, Ratna Djuami anak angkatnya pun turut serta dalam pengasingan itu.
Menghadapi penolakan Soekarno, komandan militer Belanda tidak bisa berbuat banyak kecuali menuruti permintaan Soekarno.
Karena menolak ke Bajawa dan di Ende Belanda tidak menyediakan Rumah, maka Soekarno bersama keluarga di izinkan menginap sementara di ruang pemeriksaan, sampai ia menemukan rumah tinggal yang layak.
Namun dengan syarat di pagi hari harus dibersihkan karena sesuai waktu ruangan itu akan digunakan.
Menghadapi situasi ini Soekarno merasa sangat tertekan tetapi dengan hati lapang dan jiwa Ksatria-nya ia menerima itu semua dengan tegar hati.
Akhirnya di rumah sederhana di Tanah Timur Indonesia tersebut, Bung Karno tinggal bersama istrinya Inggit Garnasih, anak angkatnya Ratna Djuami, dan mertuanya Ibu Amsi.
Selama masa pengasingannya, Bung Karno berhasil merumuskan Pancasila di Ende. Oleh karena itu, Ende dikenal sebagai Kota Pancasila.
Tradisi Masyarakat Ende
Merangkum dari berbagai sumber lain, selain menjadi kota Pancasila, Ende juga banyak menyimpan keragaman yang indah.
Kampung Adat Wologai yang terletak di Ende Pulau Flores merupakan kampung adat yang terletak di ketinggian 1.045 meter di atas permukaan laut.
Bahkan, kampung adat ini diketahui telah berusia 800 tahun lamanya. Dahulu, sebelum dimulai pembangunan rumah harus dilaksanakan Ritual Naka Wisu, yaitu menyembelih seekor ayam kemudian menebang pohon di hutan pada pukul 12 malam.
Pohon tersebut akan digunakan sebagai tiang penyangga rumah nantinya. Rumah yang ada di Kampung Wologai terbagi menjadi tiga, yaitu rumah adat, rumah suku, dan rumah besar.
Rumah suku digunakan untuk menyimpan benda pusaka atau peninggalan suku, sedangkan rumah besar ditempati saat proses ritual berlangsung.
Atap rumah yang ada di Kampung Adat Wologai terbuat menjulang tinggi yang bermakna sebagai kewibawaan ketua adat yang dipandang lebih tinggi dari masyarakat adat biasa.
Sementara, Danau Kelimutu atau yang biasa disebut Danau Tiga Warna merupakan danau yang terletak di puncak Gunung Kelimutu. Danau ini memiliki tiga warna, yaitu hijau, putih, dan merah.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, warna yang dilihat pada danau tersebut memiliki arti serta kekuatan dalam tersendiri dan merupakan tempat keramat serta pemberi kesuburan.
Masyarakat biasanya melakukan upacara adat untuk memberi persembahan hasil bumi kepada arwah danau.
Warna biru atau Tiwu Nuwa Muri Koo Fai dipercaya menjadi tempat berkumpul arwah dari orang-orang yang meninggal pada usia muda.
Lalu, warna merah atau Tiwu Ata Polo diyakini sebagai tempat berkumpul arwah dari orang-orang yang semasa hidupnya kerap berbuat jahat, sedangkan, warna putih atau iwu Ata Mbupu dipercaya sebagai tempat berkumpulnya para leluhur yang meninggal ketika tua.
Bahkan, Pantai Batu Biru menjadi salah satu objek wisata di Ende dengan memiliki deburan ombak yang eksotis.
Pantai berpasir putih ini dihiasi dengan bongkahan batu warna biru.
Tetapi, bukan hanya biru tetapi ada juga yang berwarna hijau, ungu, kuning, dan merah. Bentuk batuan yang ada di Pantai Batu Biru juga beragam, ada yang berbentuk segitiga, kotak, bundar, dan juga lonjong.
Konon, bebatuan yang ada di kawasan pantai berasal dari dasar laut lalu terseret ombak dan terdampar di pinggir pantai.
Penduduk yang berprofesi sebagai penambang batu biasanya mensortir batu berdasarkan warna, bentuk, dan ukurannya.
Kemudian, batu tersebut dijual kepada pengepul. Harga batu tersebut berkisar antara Rp25 ribu hingga Rp30 ribu per kilogram.
Tenun ikat juga menjadi kerajinan tertua yang ada di Kabupaten Ende. Masyarakat Suku Ende-Lio mayoritas memiliki bakat usaha di bidang industri kain tenun tradisional.
Proses pembuatan tenun masih kental dengan adat istiadat yang erat kaitannya dengan hal mistis dan gaib. Kain ini hanya dibuat oleh wanita dengan menggunakan bahan-bahan dasar alami sehingga pewarnaannya pun masih alami. Proses pembuatannya pun masih manual tanpa menggunakan mesin.
Tenun ikat dibuat dengan corak pilihan benang atau serat kapas serta pewarnaan yang khas menggunakan kulit kayu, akar, batang, dan dedaunan.
Tenun ikat ini memiliki tiga warna utama, yaitu putih, biru, dan merah sesuai dengan warna Danau Kelimutu.
Jari Jawa atau Husein Djajadiningrat adalah seseorang yang memiliki jasa besar bagi rakyat Ende.
Jari Jawa mendapat kepercayaan untuk memimpin suku-suku yang ada di Ende.
Hal itu membuat Jari Jawa menjadi raja pertama di Kerajaan Islam Ende yang berdiri sekitar 1630 setelah Portugis terusir dari Pulau Ende.
Sejak berdirinya Kerajaan Islam Ende, tak lagi ada kekuatan asing selama kurang lebih 163 tahun. Kerajaan Islam Ende berkuasa tanpa gangguan besar sejak 1630 hingga 1793. [dny]