Bali.WAHANANEWS.CO, Denpasar - Alih fungsi lahan pertanian di Bali terus berlangsung dan menunjukkan tren yang mengkhawatirkan.
Berdasarkan catatan tutupan lahan, sawah yang semula mencapai 122 ribu hektar kini menyusut hingga 8 ribu hektar dalam rentang 2019 hingga 2022.
Baca Juga:
Banjir Rob Parah di Labuhanbatu Utara: Ribuan Rumah dan Lahan Terendam
Seperti dilaporkan RRI Jumat (20/06/2025), Fungsional Penata Ruang Ahli Muda dari Dinas PUPRKIM Provinsi Bali, I Gusti Ngurah Artha Udiyana membenarkan penurunan signifikan tersebut.
Ia menjelaskan, penyebabnya datang dari dua sisi, yaitu faktor eksternal dan internal.
“Faktor eksternal itu kita bicara soal pertumbuhan ekonomi kawasan itu sendiri. Jika berkembang dengan pesat maka akan ada kebutuhan untuk membangun ruang di sana. Kemudian jika faktor internal ada kebutuhan ruang ekonomi dari si pemilik lahan. Dia ingin mengembangkan ruangnya, sehingga dialihfungsikan,” ungkapnya.
Baca Juga:
Distan Banten Siapkan 1.012 Pompa Air Antisipasi Dampak Perubahan Iklim
Pemerintah Provinsi Bali berupaya mengatasi kondisi ini dengan menyusun Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang menetapkan kawasan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).
Dalam RDTR, lahan pertanian memang dapat dialihfungsikan namun hanya untuk kebutuhan publik dan dengan kewajiban penggantian lahan tiga kali lipat dari yang dialihkan.
“Ketika itu sudah ditetapkan di RDTR, lahan itu boleh dialihfungsikan tetapi untuk kepentingan umum, dan harus ada syaratnya harus diganti 3 kali lipat dari luas alih fungsi lahan yang ada. Lalu untuk masyarakat sendiri yang tidak untuk kepentingan umum? Itu lebih tegas lagi ketika itu sudah ditetapkan sebagai LP2B itu tidak boleh atau dilarang dialihfungsikan,” tegasnya.
Ngurah Artha juga mengajak masyarakat untuk lebih peduli terhadap tata ruang dan aktif mencegah penyalahgunaan lahan.
Ia menekankan pentingnya keterlibatan warga dalam mengawasi pelaksanaan RDTR agar tidak sekadar menjadi dokumen formal.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]