WahanaNews-Bali | Para ilmuwan telah menemukan bagaimana kasus ringan Covid-19 dapat menyebabkan perubahan otak pada penyintasnya.
Seperti dikutip dari Medical Xpress, Selasa (8/3/2022), dalam sebuah studi baru, rata-rata orang paruh baya hingga orang lanjut usia (lansia) yang terinfeksi Covid-19, menunjukkan tanda-tanda penyusutan jaringan di area otak yang berkaitan dengan indera penciuman.
Baca Juga:
Korupsi APD Covid Negara Rugi Rp24 Miliar, Eks Kadinkes Sumut Divonis 10 Tahun Bui
Kelompok tersebut juga cenderung lebih kesulitan menyelesaikan tugas mental yang komplek, jika dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat Covid-19.
Peneliti menyebut bahwa hal itu adalah efek yang paling menonjol yang diamati pada orang tua paruh baya hingga lanjut usia yang terinfeksi Covid-19.
Temuan tersebut, menurut peneliti, memperkuat bukti, bahkan pada orang dengan Covid-19 ringan, dapat menyebabkan defisit yang dapat dideteksi di otak.
Baca Juga:
Kasus Korupsi APD Covid-19: Mantan Kadinkes Sumut Dituntut 20 Tahun Penjara
Hipotesa tersebut diperoleh peneliti setelah menganalisis data pemindaian otak yang diambil dari orang-orang sebelum dan sesudah mereka terinfeksi virus corona penyebab Covid-19.
Data ini pun membantu mereka membedakan perubahan otak yang berkaitan dengan Covid-19 dari kelainan apapun yang mungkin sudah ada.
"Kami masih bisa memastikan 100 persen bahwa ada efek kausal dari infeksi (Covid-19)," kata pemimpin penelitian Gwenaelle Douaud, seorang profesor di University of Oxford, Inggris.
Akan tetapi, imbuhnya, studi mereka tentang Covid-19 sebabkan perubahan otak pada penyintas Covid-19 ini, dapat menguraikan efek yang diamati dari perbedaan yang mungkin telah ada sebelumnya pada otak para peserta studi sebelum mereka terinfeksi SARS-CoV-2.
Kendati demikian, para peneliti mengatakan bahwa masih ada pertanyaan kunci, yakni apa yang menyebabkan otak berubah atau mengalami kerusakan otak? Studi baru memperkirakan bahwa hingga 30 persen orang dengan Covid-19 telah mengembangkan gejala "jarak jauh" yang mengganggu mereka setelah mereka sembuh dari Covid-19.
Gejala setelah sembuh dari Covid-19 yang dilaporkan itu di antaranya meliputi kelelahan, sakit kepala, sesak napas, hilangnya kemampuan indera penciuman dan indera pengecap, serta masalah dengan memori otak dan konsentrasi yang dikenali sebagai "kabut otak".
Selain itu, para peneliti juga belum tahu apa yang menyebabkan gejala long covid terjadi, atau mengapa gejala-gejala itu bisa menyerang setelah infeksi Covid-19 ringan.
Peneliti menyebut bahwa sebuah teori merujuk pada aktivasi sistem kekebalan yang berlebihan, yang menyebabkan peradangan yang meluas di tubuh. Joanna Hellmuth, ahli saraf di University of California, San Francisco, mempelajari gejala pasca-Covid.
Dia mengatakan bahwa tidak jelas apa yang mungkin menyebabkan perubahan otak yang terlihat dalam penelitian efek Covid-19 pada otak ini.
Akan tetapi, Hellmuth mengungkapkan fakta bahwa penyusutan jaringan otak terjadi di area yang berhubungan dengan bau menunjukkan satu kemungkinan kurangnya input sensorik.
Khususnya pada masa gelombang awal pandemi, yang mana Covid-19 umumnya menyebabkan orang kehilangan indra penciuman.
Ia pun mencatat bahwa perubahan atau kerusakan otak akibat Covid-19, rata-rata kecil dan bukan berarti bahwa orang dengan Covid-19 ringan akan menghadapi risiko degenerasi otak. Studi yang dipublikasikan secara online pada 7 Maret di jurnal Nature ini melibatkan 785 orang dewasa di Inggris berusia 51 hingga 81 tahun. Peserta studi telah menjalani pemindaian otak sebelum pandemi Covid-19, sebagai bagian dari proyek penelitian yang disebut UK Biobank.
Dalam kelompok peserta studi tersebut, sebanyak 401 orang tertular Covid-19 di beberapa titik antara dua pemindaian otak, sementara 384 orang lainnya tidak terinfeksi Covid-19.
Hampir semua peserta yang jatuh sakit, yakni 96 persen, memiliki kasus yang lebih ringan. Pemindaian kedua dilakukan rata-rata 4,5 bulan setelah mereka sakit.
Tim Douaud mengungkapkan bahwa rata-rata kelompok peserta dengan Covid-19, menunjukkan perubahan atau kerusakan otak yang lebih besar di area otak tertentu yang berkaitan dengan indera penciuman.
Peneliti menemukan, efek Covid-19 pada otak di kelompok tersebut, sebesar 0,2 persen hingga 2 persen, mereka kehilangan kemampuan jaringan ekstra.
Douaud sepakat bahwa kurangnya input sensorik mungkin menjelaskan adanya perubahan di area otak yang berhubungan dengan penciuman.
Namu menurutnya, timnya tidak mengetahui apakah para peserta justru kehilangan indra penciumannya, sehingga mereka tidak bisa mencari korelasi antara gejala tersebut dan perubahan otak.
Para peneliti mampu melihat kinerja peserta pada beberapa tes standar ketajaman mental. Hasilnya, kembali menunjukkan bahwa rata-rata kelompok Covid-19 mengalami penurunan ketajaman mental yang lebih besar.
Perbedaan paling jelas di antara orang dewasa tertua, kata Douaud, yakni pada 30 persen orang-orang berusia 70 tahunan yang menderita Covid-19 dengan rata-rata kondisi yang memburuk.
Itu dibandingkan dengan 5 persen di antara mereka yang bebas Covid-19. Beberapa bukti menunjukkan penurunan kinerja berkorelasi dengan penyusutan struktur otak yang terlibat dalam pemikiran dan keterampilan mental lainnya.
Ada kemungkinan, kata Douaud, bahwa perubahan otak yang terkait dengan Covid-19 akan sembuh dari waktu ke waktu.
"Cara terbaik untuk mengetahuinya (perubahan otak karena Covid-19) adalah dengan memindai peserta ini lagi dalam waktu satu atau dua tahun," katanya. [dny]