Bali.WAHANANEWS.CO, Denpasar - Konferensi pers yang diadakan oleh Aliansi Hak Pekerja Sejahtera (Hapera) Bali pada Rabu, 16 April 2025, mengungkap sejumlah persoalan pelik dalam dunia kerja pariwisata, khususnya terkait eksploitasi tenaga magang.
Sekretaris Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) Regional Bali, Ida I Dewa Made Rai Budi Darsana, menyoroti maraknya praktik penyalahgunaan program magang oleh pelaku usaha perhotelan di Bali.
Baca Juga:
Sisi Kelam AI Diungkap Polisi Inggiris, Untuk Penipuan hingga Pelecehan Seksual
“Anak-anak magang itu dieksploitasi tenaganya untuk menggantikan staf atau karyawan tetap mereka gitu,” kata Rai.
Rai mencontohkan situasi di sektor perhotelan, terutama di bagian kebersihan kamar.
Ia menyebut bahwa standar jumlah pekerja semakin tidak sebanding dengan jumlah kamar yang harus ditangani.
Baca Juga:
Program Magang Pertamina Patra Niaga di Kawasan 3T Resmi Ditutup
Dulu, rasio pekerja dengan kamar hotel adalah dua banding satu. Yakni dua orang untuk satu kamar.
Sehingga jika hotel memiliki 200 kamar, maka pekerjanya adalah 400 orang. Namun, saat ini Rai mengamati ada perubahan signifikan.
“Jadi mereka punya 200 kamar. Pekerjanya bisa di bawah 50 persennya. Bahkan setengahnya, atau mungkin cuma 100 orang,” ujar Rai.
1. Tugas Pegawai Tetap Diberikan ke Peserta Magang
Menurut Rai, eksploitasi bermula saat perusahaan mempekerjakan siswa dari sekolah pariwisata dalam program magang. Seiring waktu, para peserta magang mulai diberi tanggung jawab yang seharusnya dikerjakan oleh karyawan tetap.
“Tapi lama-kelamaan mereka justru menggantikan staf tetapnya, karena keterbatasan orang gitu. Nah, itu menjadi persoalan. Ini yang juga konsen kita ya,” kata Rai.
Ia juga menyoroti relasi kuasa yang timpang antara peserta magang dan karyawan senior. Banyak anak magang, menurutnya, tidak berani menolak perintah karena khawatir akan mendapatkan penilaian buruk.
“Anak magang juga takut kalau dia gak mengikuti perintah seniornya, maka dia diancam akan mendapatkan nilai yang jelek,” ungkapnya.
Ancaman lainnya, peserta magang berisiko tidak memperoleh sertifikat magang jika dianggap tidak kooperatif.
2. Peserta Magang Punya Hak, Tapi Sering Tak Dipenuhi
Felix Juanardo Winata, pengabdi bantuan hukum perburuhan, menyatakan bahwa peserta magang memiliki hak-hak dasar sesuai dengan regulasi dari Kementerian Tenaga Kerja Republik Indonesia. Namun, hak-hak itu sering diabaikan oleh perusahaan.
“Kalau orang magang itu, dia berhak atas misalnya uang saku. Lalu, juga berhak atas misalnya perjanjian kerjanya yang mencantumkan dia dapat berapa uang saku dan lainnya,” kata Felix.
Ia menyoroti masa kerja magang yang kerap melebihi ketentuan. Masa probasi atau pelatihan yang seharusnya hanya tiga bulan bisa meluas hingga satu atau dua tahun.
“Pemagangan sampai 12 bulan bahkan di perusahaan yang cukup bonafit, bahkan sampai dua tahun. Itu yang harus diubah,” ujar Felix.
3. Hak Menentukan Pilihan Setelah Masa Magang
Felix menegaskan bahwa perusahaan wajib membedakan secara tegas antara tanggung jawab pekerja tetap dan peserta magang. Pembatasan ini penting agar tidak terjadi penyalahgunaan status magang.
“Bahwa ketika masa permagangan itu selesai, sebetulnya dia punya hak untuk menentukan mau lanjut atau enggak gitu kan,” kata Felix.
Ia menekankan bahwa perlindungan terhadap pekerja magang hanya bisa terwujud melalui batasan yang jelas dan pemahaman perusahaan terhadap aturan yang berlaku.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]